Beranda | Artikel
Dakwah Tauhid dalam Gejolak Fitnah
17 jam lalu

Dakwah tauhid adalah nafas perjuangan para Nabi dan Rasul di sepanjang masa

Di antara perkara yang sangat memprihatinkan di tengah medan dakwah adalah kecilnya perhatian banyak kalangan terhadap pemurnian ibadah dan pembenahan akidah kaum muslimin dari kotoran syirik dan khurafat.

Padahal, dakwah tauhid inilah nafas perjuangan para Nabi dan Rasul di sepanjang masa.  Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36)

Tauhid bukan semata-mata mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta. Lebih daripada itu, tauhid mengandung pemurnian ibadah kepada Allah dan menjauhi segala bentuk syirik dan tandingan sesembahan selain Allah.

Di dalam al-Qur’an, pembahasan tentang tauhid adalah pembahasan pokok dan inti sari dari semua ajaran Islam. Oleh sebab itu, surah al-Fatihah yang disebut sebagai surat paling agung di dalam al-Qur’an sarat dengan penanaman akidah dan pembersihan iman tauhid bagi seorang muslim. Di dalamnya terkandung penegasan bahwa ibadah hanya dipersembahkan kepada Allah, ‘iyyaka na’budu’ (hanya kepada-Mu kami beribadah).

Sebagaimana dijelaskan para ulama bahwa di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terdapat penolakan terhadap segala bentuk syirik dan riya’. Ibadah adalah hak Allah, tidak boleh menujukan ibadah apa pun kepada selain Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً

“Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapa pun juga.” (QS. al-Jin : 18)

Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak rida dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga; apakah itu dengan malaikat maupun nabi. Oleh karena itu, para ulama menekankan bahwa ibadah kepada Allah tidaklah dinamakan ibadah -yang benar- kecuali apabila dilandasi dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah, maka ia menjadi rusak sebagaimana halnya hadats apabila menimpa pada thaharah (bersuci).

Pada zaman sekarang ini, banyak kita jumpai orang-orang yang mengajak kepada Islam tetapi melalaikan pokok akidah dan tauhid kepada Allah. Mereka mengira bahwa tauhid sudah cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Padahal dua kalimat syahadat ini tidak bermanfaat jika tidak dilandasi dengan ilmu, keyakinan, dan kejujuran. Lihatlah kaum munafik yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka mengucapkan syahadat tetapi hal itu tidak berguna bagi mereka di akhirat; sehingga mereka ditetapkan sebagai penghuni kerak neraka yang paling bawah… Wal ‘iyadzu billaah.

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para Nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya, tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka meyakini bahwa salah satu di antara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…”

“…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang Pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan pertentangan antara para Rasul dengan umat mereka.” (Lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)

Adapun yang terjadi kepada Fir’aun adalah sebuah kesombongan dan kecongkakan belaka. Allah Ta’ala menceritakan,

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

“Maka dia (Fir’aun) berkata: Aku adalah Rabb kalian yang tertinggi.” (QS. an-Nazi’at: 24)

Fir’aun juga berkata,

مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي

“Aku tidak mengetahui bagi kalian ada ilah (sesembahan) selain diri-Ku.” (QS. al-Qoshosh: 38)

Padahal dalam lubuk hatinya, Fir’aun sebenarnya mengakui Allah sebagai Rabbnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً

“Mereka menentang hal itu, padahal sesungguhnya mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu semua karena sifat zalim dan karena mereka merasa lebih tinggi -di hadapan manusia-.” (QS. an-Naml: 14)

Nabi Musa ‘alaihis salam telah menetapkan pengakuan Fir’aun atas hal itu. Sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya,

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَـؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Sungguh kamu (wahai Fir’aun) telah mengetahui bahwasanya tidaklah yang menurunkan itu semua melainkan Rabb yang menguasai langit dan bumi.” (QS. al-Israa’: 102) (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1: 6)

Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa orang yang menganggap bahwa tauhid cukup dengan meyakini Allah sebagai pencipta atau penguasa alam adalah keliru. Atau menganggap bahwa tauhid itu cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, sementara pelakunya juga melakukan berbagai bentuk kesyirikan.

Intisari ajaran tauhid adalah tauhid uluhiyah

Tauhid uluhiyah -disebut juga tauhid dalam hal keinginan dan tuntutan- adalah mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah. Memurnikan ibadah-ibadah itu untuk Allah semata secara lahir dan batin. (Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 53)

Tauhid uluhiyah ini juga disebut dengan istilah tauhid fi’li (tauhid dalam hal perbuatan) disebabkan ia mencakup perbuatan hati dan anggota badan. Maka, tauhid uluhiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan hamba. (Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54)

Tauhid inilah jenis tauhid yang paling agung. Tauhid yang paling penting. Tauhid ini pun telah mencakup jenis-jenis tauhid yang lainnya, yaitu tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat. Tauhid inilah yang menjadi tujuan penciptaan jin dan manusia serta misi dakwah para rasul. Tauhid inilah yang menjadi muatan pokok kitab-kitab yang diturunkan Allah. Di atas perkara tauhid inilah ditegakkan hisab kelak di akhirat. Disebabkan persoalan tauhid inilah orang akan masuk surga atau neraka. Dan dalam hal tauhid inilah akan terjadi persengketaan antara para rasul dengan umat-umatnya kelak di hari kiamat. (Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54)

Hikmah dan tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah, yaitu dengan mewujudkan maksud dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Inilah tujuan utama dari ibadah. (Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 56)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut..” (QS. an-Nahl: 36)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya/amal dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ

“Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya…” (QS. al-Isra’: 23)

Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kaum musyrikin di kala itu. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَعَجِبُوا أَن جَاءهُم مُّنذِرٌ مِّنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهاً وَاحِداً إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Dan mereka pun terheran-heran ketika datang seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu mengatakan, ‘Ini adalah seorang penyihir lagi pendusta. Apakah dia -Muhammad- menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini menjadi satu sesembahan saja. Sungguh ini adalah perkara yang sangat mengherankan’.” (QS. Shad: 4-5)

Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti doa, takut, harap, tawakal, isti’anah (minta pertolongan), istighotsah, menyembelih, dan lain sebagainya dari perbuatan hamba. Maka wajib atas mereka untuk menujukan semua itu untuk Allah semata, tidak mempersekutukan bersama Allah siapa pun dalam beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tiada pencipta selain Allah, tiada yang menghidupkan selain Allah, tiada yang mematikan selain Allah, maka sesungguhnya tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) selain Allah. (Lihat Min Kunuz al-Qur’an al-Karim, Kutub wa Rasa’il, 1: 149; karya Syekh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah)

Oleh sebab itu, suatu hal yang membuat hati pilu ketika ada sebagian orang yang mengatakan ‘Mengapa kita begitu besar memperhatikan masalah tauhid? Tidakkah sebaiknya kita memperhatikan persoalan-persoalan kaum muslimin dan masalah yang menghimpit mereka?’ atau seruan lain yang serupa. Orang yang mengucapkan kalimat semacam itu mungkin lupa atau pura-pura lupa terhadap ucapan imamnya ahli tauhid; yaitu Ibrahim ‘alaihis salam ketika beliau berdoa kepada Rabbnya,

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku beserta anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Kalau Ibrahim ‘alaihis salam saja sedemikian besar merasa takut dari syirik, padahal beliau lah orang yang menghancurkan berhala kaumnya, maka bagaimanakah lagi dengan orang lain yang berada di bawah kedudukannya?! (Lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah oleh Syekh Dr. Abdussalam Barjas rahimahullah, hal. 44-45)

Baca juga: Cuplikan Faedah Ilmu Tauhid

Pahami asas dakwah Islam

Nuh ‘alaihis salam -rasul yang pertama- berdakwah tauhid kepada kaumnya. Beliau berkata kepada kaumnya,

يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah [saja]. Tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain-Nya.” (QS. al-A’raf: 59)

Hud ‘alaihis salam pun menyerukan ajakan yang sama. Beliau berkata kepada kaumnya,

يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raf: 65)

Shalih ‘alaihis salam berdakwah tauhid kepada umatnya. Beliau berkata,

يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raf: 73)

Syu’aib ‘alaihis salam pun mendakwahkan tauhid. Beliau berkata kepada kaumnya,

يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raf: 85)

Seperti inilah gambaran kekompakan dakwah para rasul ‘alaihimus salam. Semuanya mengajak kepada umatnya untuk bertauhid kepada Allah. Walaupun masa dan masyarakat yang mereka hadapi berbeda-beda, tetapi dakwah tauhid tetap menjadi prioritas utama dakwahnya. Inilah yang Allah Ta’ala tegaskan di dalam kitab-Nya yang mulia,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain-Nya.” (an-Nahl : 36)

Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para Rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya -apakah itu para Nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah [makhluk, yang tidak layak disembah, pent]-, maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid, muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘…Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah’; sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’!…” (Lihat Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)

Imam Ahli Hadis abad ini, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, menjelaskan, “Nuh –‘alaihis salam– menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘Azza wa Jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً

“Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23)

Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah Tabaraka wa Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (Lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syekh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Syekh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (Lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1: 17; cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. (Lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8; cet. I, 1424)

Demikian sedikit kumpulan faedah dan catatan yang Allah beri kemudahan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi segenap pembaca.

Baca juga: Di Antara Keutamaan Tauhid

***

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/107662-dakwah-tauhid-dalam-gejolak-fitnah.html